Thursday, July 05, 2007 5:43 AM
Keluarga dan warga Balonggabus Mendukung Aan
10 September 2004
Lolosnya Aan Dwi Atmojo ke babak empat besar Kontes
Dangdut Indonesia (KDI) versi TPS jelas kejutan.
Sebab, Aan tidak punya manajemen atau tim sukses yang
solid seperti Delon, runner-up Indonesian Idol.
.................
KELUARGA angkat Aan dwi Atmojo dari segi ekonomi
tergolong rata-rata. Rumah pasutri Yoyok Subianto dan
Ambarwati di Palem Putri K/32 Desa Balonggabus,
Kecamatan Candi, sederhana saja. Ini merupakan
perumahan kelas menengah-bawah alias rumah sangat
sederhana.
Hanya, karena terus dikembangkan, rumah di pelosok
Candi itu terkesan luas dan nyaman. "Kami orang biasa,
bukan orang kaya seperti peserta KDI atau AFI atau
Indonesia Idol," ujar Ambarwati kepada saya.
Beberapa orang tengah sibuk mengupas bawang dan
menyiapkan selamatan kecil-kecilan di rumah. Acara
sunatan, sekaligus bersyukur karena Aan masuk empat
besar KDI. Harapan mereka sederhana saja. Aan bisa
tembus tiga besar, sehingga berhak menggondol hadiah
mobil. Siapa tahu, Aan yang tak punya apa-apa itu
kembali ke Balonggabus dengan membawa mobil baru,
hadiah bagi pemenang KDI 2004.
Kesederhanaan keluarga angkat Aan di Balonggabus
(orang tua kandung di Mojosari, Mojokerto) hampir sama
dengan warga Palem Putri. Karena itu, dukungan mereka
untuk Aan, mantan vokalis band rock 'Wafer', dalam
bentuk SMS pun terbatas.
Mereka tak mungkin, katakanlah, menghabiskan pulsa
senilai Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, atau jutaan rupiah,
demi mendukung vokalis berbadan kurus itu.
"Paling-paling kami mengirim SMS Selasa pagi menjelang
konser di TMII," ujar Ambar seraya tersenyum. Babak
eliminasi KDI, seperti diketahui, berlangsung setiap
Selasa malam, dan disiarkan langsung oleh TPI ke
seluruh Indonesia.
Bagaimana dengan dukungan langsung ke Jakarta? Juga
sangat minim. Kontras nian dibandingkan dukungan warga
Bandung kepada Siti dan Nassar, yang juga masuk empat
besar. (Wali kota Bandung bahkan membuat SK khusus
kepada semua instansi di Kota Bandung agar mengirim
SMS atau ngeluruk ke Jakarta saat konser.)
Menurut Ambar, ibu angkat Aan sejak lima tahun lalu,
rombongan dari Balonggabus yang berangkat ke Jakarta
sangat sedikit. Pekan lalu, misalnya, hanya 20 orang.
Naik kereta api eksekutif? Mana mampu, katanya. Mereka
pun terpaksa berjubel-jubelan di mobil biasa dari
Sidoarjo ke Jakarta. "Capek sekali karena nggak ada
istirahatnya. Kami langsung ke TMII untuk menunggu
konser KDI," kenang Ambar seraya tersenyum.
Untung saja, panitia KDI menyiapkan karcis gratis
untuk keluarga semua peserta. Kalau tidak, Ambar dan
kawan-kawan harus mengeluarkan lagi biaya banyak untuk
membeli tiket masuk. Asal tahu saja, setiap Selasa
malam tiket KDI ludes tak bersisa dan hanya tersedia
di tangan makelar. Satu tiket dijual ratusan ribu
rupiah.
Masuk di gedung konser KDI di kompleks Taman Mini
Indonesia Indah (TMII), tempat duduk sudah terisi
penuh. Lalu? Apa boleh buat, suporter Aan yang
jauh-jauh datang dari Candi, Sidoarjo, terpaksa
berdiri sepanjang konser KDI berlangsung. Dari pukul
19:00 hingga babak 'penjemputan' sekitar pukul 23:00.
Bisa dibayangkan betapa melelahkan tim suporter Aan
yang sedikit itu.
Syukurlah, sejak babak awal hingga lima besar vokalis
kelahiran Mojosari 17 Mei 1983 itu tampil sangat
meyakinkan. Penonton, di luar suporter atau tim
sukses, pun terpikat pada gaya panggung dan vokal
'ngerock' Aan KDI. Inilah yang membuat perolehan suara
(SMS) Aan terus melejit. Pekan lalu, Aan berada di
peringkat ketiga dari lima peserta.
Sukses Aan ini, kata Ambarwati, sangat mengobati
kelelahan mereka dalam perjalanan panjang bolak-balik
Sidoarjo-Jakarta. Mereka juga puas bisa bertemu Aan
meski sangat singkat. Maklum, selama karantina peserta
dilarang berkomunikasi dengan keluarga dalam bentuk
apa pun.
"Hari Minggu baru bisa bicara lewat telepon. Tapi Aan
kan nggak bisa melihat wajah keluarga dan
teman-temannya di sini. Sementara kita masih bisa
melihat dia di televisi," papar Ambar.